Senin, 12 September 2016

The Road Not Taken


The Road Not Taken 
by Robert Frost
Two roads diverged in a yellow wood,
And sorry I could not travel both
And be one traveler, long I stood
And looked down one as far as I could
To where it bent in the undergrowth;

Then took the other, as just as fair,
And having perhaps the better claim,
Because it was grassy and wanted wear;
Though as for that the passing there
Had worn them really about the same,

And both that morning equally lay
In leaves no step had trodden black.
Oh, I kept the first for another day!
Yet knowing how way leads on to way,
I doubted if I should ever come back.

I shall be telling this with a sigh
Somewhere ages and ages hence:
Two roads diverged in a wood, and I—
I took the one less traveled by,
And that has made all the difference.

     Sudah seminggu berlalu sejak hari pertama kuliah. Kalo diingat-ingat, kurang lebih beberapa bulan yang lalu, saya mendapatkan tiga pilihan untuk melanjutkan pendidikan. Kesempatan untuk berkuliah di kampus makara, kuliah di kampus punggawa keuangan negara, dan yang terakhir kuliah di kampus presiden.
     Diantara tiga pilihan ini, saya memilih untuk melanjutkan studi di kampus pilihan kedua. Pilihan ini sebenarnya merupakan keinginan orang tua saya, mengingat kondisi keuangan dan situasi keluarga saat ini, mau tidak mau secara tidak langsung saya diharuskan memilih kampus ini. Padahal, pada hari pertama di SMA, cita-cita saya adalah menjadi duta besar untuk jepang atau sekjen PBB.
.
.
.
.
xx Mei, 2016.
     Hari itu, untuk merayakan keberhasilan kecil saya, saya mengajak sohib saya untuk makan siang di PI sembari menunggu keluarnya pengumuman SNMPTN. Selang beberapa waktu, tepatnya jam 1 siang, kami berlima membuka situs pengumuman dan apa yang terjadi? hanya satu diantara kami yang lolos dan yang jelas itu bukan saya. Ada yang bilang jangan kecewa toh masih banyak jalan yang lain. Tapi, meskipun ditahan, ada saja rasa kecewa yang mendalam, seolah-olah apa yang telah saya lakukan di sekolah selama ini telah sia-sia.
     Tapi, meskipun gagal, ada tiga hal yang mengukir senyum di wajah saya pada hari itu. Yang pertama, ia diterima di jurusan pilihannya. Kedua, teman saya banyak yang diterima di PTN favorit. Ketiga, saya sadar bahwa saya masih harus berjuang.
Meskipun gagal pada saat SNMPTN, sempat menyerah dan masuk ke zona nyaman pada kesempatan ketiga. Berkat usaha dan Doa ibu, alhamdulillah, pada saat SBMPTN saya lolos seleksi dan diterima di kampus makara dengan jurusan yang telah lama saya cita-citakan. Tidak lama setelah itu, saya juga dinyatakan diterima di kampus punggawa keuangan negara. Tentu saja dua pilihan ini sama-sama bagus. Untuk mempermudah memilih, saya memutuskan untuk salat istikharah selama beberapa malam.
     Pada suatu malam, saya bermimpi mengendarai mobil di sebuah lorong yang sangat sempit. Meskipun samar-samar, saya ingat bahwa pada saat itu, saya berbicara dengan seseorang mengenai kampus makara. Selama perjalanan, mobil bergerak sangat lamban agar tidak menyerempet dinding di kanan-kiri. Akhirnya saya tiba di tujuan tapi, di depan mobil ada gerbang besar yang tertutup dan menghalangi mobil untuk masuk.
     Mengingat kondisi keluarga, dari tiga pilihan ini saya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di kampus punggawa keuangan negara. Yah... Meskipun cita-cita saya mau tidak mau saya kubur. Paling tidak, menjadi sekjen PBB masih bisa diwujudkan meskipun jalannya sulit dan panjang.
.
.
.
.
Kadang-kadang, saya masih merenung dan menghayal.
"Jika saya memilih pilihan yang lain, sekarang apa yang sedang saya lakukan?"

0 komentar:

Posting Komentar